gravatar

Cinta dan Motivasi (2)

Kecintaan Yang Bermanfaat

     Setiap yang hidup memiliki keinginan dan perbuatan sesuai dengan dirinya. Setiap yang bergerak memiliki tujuan mengapa ia bergerak. Dan tidak ada kemaslahatan baginya kecuali jika akhir tujuan geraknya adalah Allah semata. Sebagaimana tak berarti keberadaan dirinya kecuali dengan menjadikan Allah semata sebagai Tuhan dan Penciptanya. Ia ada karena Allah semata, dan kesempurnaan dirinya yaitu dengan menjadikan Allah sebagai tujuannya. Sesuatu yang tidak diciptakan-Nya, tidak akan ada dan sesuatu yang tidak karena-Nya, tidak akan bermanfaat, tidak akan kekal. Karena itu Allah befirman,

"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa." (Al-Anbiya': 22).

     Dalam ayat tersebut Allah tidak befirman, "Niscaya keduanya telah lenyap", sebab Allah Mahakuasa mengkekalkannya dalam keadaan rusak. Di sini menunjukkan bahwa keduanya tidak akan baik kecuali jika Pencipta keduanya adalah Tuhan Yang Mahaesa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan sungguh kebaikan suatu amal atau aktivitas adalah tergantung pada niat dan tujuannya, maka setiap pekerjaan tergantung pada niat, tujuan dan keinginan pelakunya.
     Dan klasifikasi pekerjaan menjadi baik dan rusak terkadang tergantung pada jenis pekerjaan itu sendiri dan terkadang tergantung pada tujuan dan niatnya.


    Adapun klasifikasi cinta dan keinginan menjadi bermanfaat dan merusak, maka hal itu tergantung dengan yang dicintai dan yang diingini. Jika yang dicintai dan diingini itu sesuatu yang tidak patut untuk dicintai dzatnya kecuali Dia, dan bahwa Dia adalah puncak kecintaan yang tertinggi, yang tidak akan ada kebaikan, keberuntungan dan kesenangan bagi hamba kecuali dengan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya yang dicinta, yang diingini dan puncak yang dicari, maka kecintaannya itu adalah kecintaan yang bermanfaat baginya. Tetapi, jika yang dicintai, diingini dan dicari itu selain-Nya, maka kecintaannya itu akan membahayakan baginya, bahkan sebagai siksa dan derita.
    Maka, kecintaan yang bermanfaat adalah kecintaan yang memberikan apa yang bermanfaat bagi pemiliknya dari berbagai kebahagiaan dan kenikmatan. Sedangkan kecintaan yang berbahaya adalah kecintaan yang membahayakan pemiliknya, membuatnya tersiksa dan menderita.

Ilmu dan Keadilan Adalah Dasar Segala Kebaikan

     Jika masalah di atas telah jelas, maka orang yang berfikir dan mengerti tentang dirinya tidak akan mengutamakan kecintaan pada apa yang membahayakan dan membuatnya menderita. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali karena maksud dan keinginannya yang rusak. Untuk itu perlu disinggung dua hal: Pertama, soal kebodohan dan kedua soal kezaliman. Manusia, pada dasarnya diciptakan dalam keadaan zalim dan bodoh. la tidak akan bisa terlepas dari kebodohan dan kezaliman kecuali jika Allah mengajarinya apa yang bermanfaat serta memberikannya petunjuk. Siapa yang dikehendaki-Nya baik, maka Dia akan mengajarinya apa yang bermanfaat baginya, sehingga ia terbebas dari kebodohan, dan bermanfaat baginya apa yang diajarkan-Nya, dan dengan demikian, ia juga terbebas dari kezaliman. Adapun jika Allah tidak menghendaki kebaikan pada orang tersebut, maka Allah membiarkannya pada dasar penciptaan semula (bodoh dan zalim). Demikian seperti disebutkan dalam Al-Musnad"(1) dari hadits Abdullah bin Amr dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan kegelapan. Lalu Ia memancarkan cahaya-Nya. Maka barangsiapa yang terkena cahaya itu ia mendapat petunjuk dan barangsiapa tidak mendapatkannya maka ia tersesat."

    Nafsu selalu menginginkan apa yang membahayakannya dan tidak bermanfaat baginya. Sebab terkadang dia memang tidak mengerti bahayanya, tetapi terkadang pula karena niatnya yang buruk, atau karena kedua-duanya.

   Dalam Kitab Suci-Nya, Allah mencela orang yang menuruti ajakan kebodohan dan kezaliman. Allah befirman,

"Makajika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Qashash: 50).

"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka." (An-Najm: 23).

    Maka, dasar segala kebaikan adalah ilmu dan keadilan dan dasar segala kejahatan adalah kebodohan dan kezaliman. Dan Allah telah menjadikan keadilan yang diperintahkan sebagai batasan. Maka, barangsiapa yang melampauinya berarti ia berlaku zalim dan melampaui batas. Dan karenanya, ia akan mendapatkan celaan dan hukuman sesuai dengan tingkat kezaliman dan permusuhannya. Karena itu Allah befirman,

"Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al-A'raaf:31).

   Kemudian Allah befirman tentang orang-orang yang mencari (kenikmatan biologis) selain dengan istrinya atau budak wanitanya,

"Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang- orang yang melampaui batas." (Al-Mukminun: 7).

"Dan janganlah melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Baqarah: 190).

     Maksudnya, kecintaan kepada kezaliman dan permusuhan adalah disebabkan karena rusaknya ilmu atau rusaknya tujuan, atau dikarenakan kerusakan oleh keduanya.
     Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa rusaknya tujuan disebabkan oleh rusaknya ilmu. Jika tidak, tentu kalau ia mengetahui bahaya tersebut berikut konsekwensinya, ia tidak akan mengutamakannya.
     Karena itu, orang yang mengetahui ada makanan lezat, tetapi beracun ia tidak akan menyantapnya. Sedang ketidakmengertiannya tentang bahaya yang bakal mengancam, juga lemahnya keinginan untuk menjauhinya menjadikannya terjerumus dalam bahaya tersebut.
     Karena itu, hakikat iman yaitu yang membawa pemiliknya untuk melakukan apa yang bermanfaat baginya dan meninggalkan apa yang membahayakannya. Jika ia tidak melakukan hal yang bermanfaat, atau tidak meninggalkan yang membahayakannya, maka berarti imannya belum iman yang sesungguhnya, tetapi ia baru memiliki kadar iman seperti itu. Seorang Mukmin yang hakiki adalah yang dengan neraka seakan-akan ia melihatnya, sehingga ia tidak meniti jalan yang menjerumuskan dirinya ke dalamnya, apatah lagi berusaha untuk masuk ke dalamnya. Juga seorang Mukmin yang hakiki adalah yang dengan surga ia tidak berpangku tangan untuk tidak berusaha mencarinya. Dan hal tersebut sama dengan apa yang dicari manusia di dunia dari berbagai kemanfaatan, atau untuk menghindar dari berbagai bahaya.

Akal dan Syariat

    Jika hal ini telah jelas, maka setiap hamba sangat memerlukan ilmu tentang apa yang membahayakannya sehingga ia bisa menjauhinya dan tentang apa yang bermanfaat baginya sehingga ia mengusahakan dan mengerjakannya. Akhirnya, ia cinta kepada yang bermanfaat dan benci kepada yang membahayakan, sehingga cinta dan bencinya sesuai dengan kecintaan dan kebencian Allah. Dan ini termasuk konsekwensi penghambaan dan kecintaan. Jika ia keluar dari hal yang demikian, maka ia akan mencintai apa yang dibenci oleh Tuhannya dan membenci apa yang dicintai-Nya, dan dengan demikian penghambaannya menjadi berkurang sesuai dengan tingkat kekurangannya.

     Dan dalam hal ini ada dua cara: Akal dan syariat. Adapun akal, maka Allah telah meletakkan pada akal dan fitrah untuk menganggap baik kejujuran, keadilan, berbuat baik (kepada orang lain), kebajikan, iffah (menahan diri), keberanian, akhlakul karimah, menunaikan amanat, menyambung tali silaturrahim, nasihat-menasihati, menepati janji, menjaga (hak-hak) tetangga, menolong orang teraniaya, membantu memperjuangkan kebenaran, menjamu tamu, menanggung beban dan sebagainya.
     Di samping itu, Allah juga meletakkan pada akal dan fitrah untuk menganggap baik lawan dari berbagai hal di atas, kemudian mendasarkan anggapan baik dan buruk itu pada pertimbangan akal dan fitrah, sama seperti ia menganggap baik minum air dingin saat haus, makan makanan yang enak dan bermanfaat ketika lapar, dan memakai pakaian hangat ketika kedinginan. Sebagaimana tidak mungkin baginya menolak baik secara akal atau naluri untuk menganggap baik hal-hal tersebut, maka demikian pula ia tidak mungkin bisa menolak, baik secara akal atau fitrah untuk menganggap baik sifat-sifat kesempurnaan dan kemanfaatan dan untuk menganggap buruk hal-hal yang sebaliknya. Dan barangsiapa mengatakan bahwa hal itu tidak bisa diketahui melalui akal, juga tidak dengan fitrah, tetapi hanya dapat diketahui melalui wahyu maka ini adalah perkataan batil.
      Metode kedua untuk mengetahui yang berbahaya dan yang berman faat dari berbagai perbuatan adalah wahyu. Metode dan cara ini lebih  luas, jelas dan benar daripada metode dan cara yang pertama, karena  begitu tersembunyinya ciri-ciri, keadaan dan dampak perbuatan. Dan  yang mengetahui hal-hal tersebut secara mendetail tiada lain kecuali  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
     Adapun orang yang paling benar akal, pendapat dan anggapan baik nya adalah orang yang akal, pendapat, anggapan baik serta kiasnya se suai dengan Sunnah, seperti ucapan Mujahid, "Seutama-utama ibadah  adalah pendapat yang baik, yakni mengikuti Sunnah. Allah befirman,

"Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar." (Saba': 6).

    Dan orang-orang menamakan para ahli ra'yi (pendapat) yang bertentangan dengan Sunnah dan apa yang dibawa oleh rasul dalam masalah ilmu khabariyah dan hukum-hukum amaliyah sebagai ahli syubuhat dan hawa nafsu. Sebab, pendapat yang bertentangan dengan Sunnah adalah kebodohan, bukan ilmu, hawa nafsu bukan agama. Sedangkan pelakunya termasuk orang yang mengikuti hawa nafsu dengan tanpa petunjuk, yang berakhir dengan kesesatan di dunia dan kecelakaan di akhirat. Kesesatan dan kecelakaan tidak terdapat pada orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah yang dengannya Allah mengutus RasulNya dan menurunkan kitab-kitab-Nya berdasarkan firman Allah,

"Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 123-124).

    Mengikuti hawa nafsu itu bisa dalam hal cinta atau kebencian, sebagaimana firman Allah,

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran." (An-Nisa': 135).

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (Al-Ma'idah: 8).

    Hawa nafsu yang dilarang untuk mengikutinya itu, sebagaimana bisa berupa hawa nafsu yang ada dalam dirinya, demikian juga bisa berupa hawa nafsu orang lain. Kedua hawa nafsu itu tidak boleh diikuti, karena masing-masing daripadanya bertentangan dengan petunjuk Allah yang dengannya Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitabNya.

Kecintaan Yang Bermanfaat dan Kecintaan Yang Membahayakan

    Termasuk kecintaan yang bermanfaat yaitu cinta kepada istri dan hamba sahaya yang dimiliki oleh seorang laki-laki, sebab hal itu akan menolongnya dalam melaksanakan apa yang disyariatkan Allah dalam hal nikah dan kepemilikan hamba sahaya, yakni menjadikan seorang laki-laki menahan diri dari melakukan maksiat, baik menyangkut diri maupun keluarganya, sehingga nafsunya tidak menginginkan kepada yang haram, bisa menahan diri sehingga nafsunya tidak menginginkan kepada yang lain. Lalu, semakin sempurna dan kuat kecintaan antara suami-istri, maka semakin lengkap dan sempurna pula maksud dari pernikahan itu. Allah befirman,

"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (Al-A'raaf: 189).
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang." (Ar-Ruum: 21).

    Dan dalam Ash-Shahih"(2) disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya, "Siapakah orang yang paling engkau cintai?" Maka beliau menjawab, "Aisyah."
     Karena itu jika Masruq Rahimahullah meriwayatkan dari Aisyah beliau mengatakan, 'Telah bercerita kepadaku, seorang wanita yang jujur, puteri seorang laki-laki yang jujur, kekasih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang disucikan dari atas langit yang tujuh."(3)

     Karena itu, tidak ada aib bagi seorang laki-laki yang mencintai dan menyayangi istrinya, kecuali jika hal tersebut menyibukkan dirinya dari kecintaan yang lebih bermanfaat baginya, yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta jika kecintaannya itu mengalahkan cintanya kepada Rasul-Nya. Sebab setiap cinta yang mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga melemahkan atau mengurangi kecintaan tersebut, maka ia adalah cinta yang tercela. Sebaliknya, jika cinta itu mendorong cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta menyebabkan kuatnya cinta tersebut, maka ia adalah cinta yang terpuji. Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senang minum air yang dingin dan manis, senang manisan dan madu, senang kepada kuda, dan pakaian yang paling beliau sukai adalah qamish (sejenis jubah).(4) Berbagai kecintaan tersebut tidak mengalahkan kecintaan kepada Allah, bahkan sebaliknya bisa menjadikan hati dan keinginan untuk lebih memfokuskan kecintaan kepada Allah. Ini adalah kecintaan alami yang tergantung pada niat dan maksud pemiliknya.
     Jika ia meniatkan dengan kecintaannya itu agar kuat dalam melaksanakan perintah Allah dan dalam mentaati-Nya maka ia termasuk ibadah. Dan jika ia melakukan hal itu hanya berdasarkan sesuatu yang alamiah dan kecenderungan hati semata, maka ia tidak diberi pahala dan tidak pula disiksa, dan dengan demikian ia tidak mendapatkan derajat yang diperoleh orang yang mencintai karena mengharap ridha Allah.
     Dengan demikian, kecintaan yang bermanfaat ada tiga macam: Cinta kepada Allah, cinta karena Allah dan cinta yang memotivasi ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat kepada-Nya. Sebaliknya, kecintaan yang membahayakan ada tiga macam pula: Menyekutukan cinta dengan Allah, cinta yang membuat kemurkaan Allah, serta cinta yang memutuskan atau mengurangi kecintaannya kepada Allah. Ketiga macam cinta inilah poros segala kecintaan hamba. Maka, cinta kepada Allah adalah asal dari segala kecintaan yang terpuji, asal keimanan dan tauhid, sedangkan dua macam cinta berikutnya merupakan cabang daripadanya. Dan menyekutukan cinta dengan Allah merupakan asal dari segala kesyirikan dan kecintaan yang tercela, sedang dua macam berikutnya merupakan cabang daripadanya.
     Sedangkan kecintaan kepada gambar-gambar yang diharamkan akan menjerumuskan pelakunya pada kemusyrikan. Dan setiap kali seorang hamba lebih dekat kepada syirik dan jauh dari ikhlas, maka setiap itu pula kecintaannya kepada gambar-gambar juga semakin kuat. Sebaliknya, setiap kali seseorang lebih ikhlas dan lebih bertauhid, maka setiap itu pula ia semakin jauh dari kecintaan kepada gambar-gambar. Karena itu, istri raja (dalam kisah Nabi Yusuf Alaihis-Salam) terpikat begitu dalam oleh cinta (kepada Yusuf Alaihis-Salam) karena kesyirikannya, sedangkan Yusuf Ash-Shiddiq Alaihis-Salam selamat daripadanya karena keikhlasannya kepada Allah. Allah befirman,

"Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kecintaan (pada kemungkaran) dan zina. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba Kami yang ikhlas." (Yusuf: 24).

    As-Su' dalam ayat di atas adalah berarti al-'isyq kecintaan (pada kemungkaran), sedangkan al-fahsya' berarti zina.
    Maka orang yang mukhlis adalah orang yang memurnikan kecintaannya hanya semata kepada Allah, karena itu Allah menyelamatkannya dari fitnah kecintaan kepada gambar-gambar. Sedangkan orang musyrik, hatinya senantiasa bergantung kepada selain Allah, ia tidak memurnikan ketauhidan dan cintanya hanya kepada Allah semata.

note :
1. Musnad Ahmad ) (2/176,197). Dan diriwayatkan pula oleh Al-Ajuri dalam Asy-Syari'ah (hal. 175), Ibnu Hibban (1812), Al-Hakim (l/30),At-Tirmidzi (2644) dari jalur Abdullah bin Ad-Dailami dari Ibnu Umar dan sanad-nya adalah shahih.
2.   Diriwayatkan Muslim (2384) dari Amr bin Al-Ash.
3. Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (2/44), Al-Muwaffaq Al-Maqdisi dalam Itsabatu Shifatil 'Uluw (no. 83), dan Adz-Dzahabi dalam Al-'Uluw (hal. 92).
4.  Semua ini adalah shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, silahkan merujuk pada kitab-kitab tentang sifat-sifat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Rujukan :
1. Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan, Melumpuhkan Senjata Syetan, Imam Ibnul Qoyyim Al-Jautziyyah