gravatar

Menghadirkan Bayangan Akhirat di Dalam Hati

     Setelah ini dipahami, kami ingin menerangkan definisi berpikir. Berpikir adalah menghadirkan dua pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan ketiga. Contohnya: jika seseorang menghadirkan kehidupan, kenikmatan, cacat dan kefanaan dunia di hatinya, kemudian menghadirkan kenikmatan dan keabadian akhirat serta kelebihannya atas kenikmatan dunia, dan dia yakin dengan pasti akan kebenaran kedua pengetahuan ini, maka hal itu akan menghasilkan pengetahuan yang ketiga. Yaitu bahwa akhirat, dengan kenikmatannya yang lebih dan kekal, lebih utama dan patut untuk diutamakan oleh setiap orang yang berakal daripada dunia fana.


     Kemudian dalam hal pengetahuan tentang akhirat, seseorang berada dalam dua keadaan.
     Pertama: dia mendengar pengetahuan itu dari orang lain. Hatinya tidak benar-benar yakin terhadap akhirat, dan juga tidak sampai menyentuh hakikatnya. Ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Ada tarik-menarik antara dua kutub pada dirinya. Yaitu, daya tarik dunia dan pengutamaannya yang merupakan daya tank terkuat pada diri karena merupakan hal yang disaksikan dan dirasakan oleh indera; dan daya tarik akhirat, yang merupakan daya tarik yang lemah karena hanya dari pendengaran saja dan hatinya belum benar-benar yakin. Apabila ia meninggalkan dunia untuk akhirat, jiwanya berbisik kalau dirinya telah meninggalkan sesuatu yang malum (pasti) menuju pada suatu yang mazhnun (khayalan). Jiwa seseorang itu memanggilnya,
"Aku tidak boleh melepaskan sebiji jagung yang ada di depan mata hanya karena untuk mendapatkan sebuah berlian yang baru sekedar janji."
     Cacat inilah yang menghalangi jiwa-jiwa manusia dalam mempersiapkan diri untuk akhirat, beramal dan berusaha untuk menghadapinya. Ini karena lemahnya ilmu dan lemahnya keyakinan akan akhirat itu. Sebab, kalau ada keyakinan paten dan tidak ada lagi keraguan yang meliputi hati, tentu seseorang tidak akan meremehkannya dan pasti akan berharap penuh terhadapnya.
     Oleh karena itu, kalau seseorang disuguhi makanan yang begitu lezat lagi nikmat dan dia sedang amat butuh kepadanya lalu diberitahu kalau makanan itu beracun, tentu ia tidak akan menyentuhnya—karena dia tahu bahaya akibat memakan makanan itu melampaui kelezatan menyantapnya. Mengapa keimanan seseorang terhadap akhirat tidak tertanam seperti itu dalam hatinya? Hal ini tentu disebabkan lemahnya pohon ilmu dan iman terhadap akhirat dalam hati.
     Begitu pula bila ia berjalan di suatu jalan lalu diberitahu bahwa di ujung jalan ada perampok yang membunuh orang yang lewat dan merampas barang-barangnya. Tentu orang itu tidak akan melewati jalan tersebut, kecuali ada dua kemungkinan: dia tidak percaya kepada yang memberitahunya, atau dia percaya diri akan kesanggupannya mengalahkan dan menundukkan mereka. Kalau saja ia mempercayai berita itu sepenuhnya dan yakin akan ketidaksanggupannya melawan para perampok, pasti dia tidak menempuh jalan itu.
     Sekiranya kedua pengetahuan ini telah ada pada diri seseorang perihal
pengutamaan terhadap urusan dunia, tentu dia tidak akan melakukannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kalau seseorang mengutamakan urusan dunia dan tidak mempersiapkan diri untuk akhirat, berarti imannya tidak sempurna.
     Keadaan kedua: dia benar-benar yakin dan pasti bahwa ada ad-daar (tempat kembali) untuknya selain dunia ini, dan bahwa dunia hanyalah jalan menuju tempat tersebut atau sekedar tempat persinggahan manusia yang akan menuju ke sana. Di samping itu, dia tahu bahwa daar tersebut kekal, nikmat dan azabnya juga tidak lenyap. Nikmat dan azab dunia jika dibanding dengan nikmat dan azab akhirat hanyalah seperti mencelupkan jari ke laut lalu jari itu diangkat lagi. Air yang membasahi jari itulah dunia. Dan, air laut itulah akhirat. Pengetahuan seperti ini mendorong seseorang untuk mengutamakan, mencari, dan mempersiapkan diri benar-benar dalam menghadapi akhirat. Selain itu juga berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan kebahagiaannya. Dia berusaha dengan penuh tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta'ammul, i'tibar, tadabbur, dan istibshar. Semua kata ini mirip artinya; sama dalam satu sisi tapi berbeda dalam sisi yang lain.
     Disebut tafakkur karena dalam semua proses itu menggunakan dan meng-
hadirkan pikiran. Dan, disebut tadzakkur karena menghadirkan ilmu yang harus diingat-ingat setelah terlupa dan hilang. Allah SWT berfirman,

      "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan,    mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya." (al-A'raaf: 201)

      Disebut nadhar karena melihat dengan mata hati pada hal yang dipikirkan. Adapun disebut ta'ammul karena mengulang-ulang pikiran sampai terlihat jelas dan terbuka bagi hatinya. Sementara itu, disebut i'tibar (wazan ifti'al dari kata 'ubur yang berarti menyeberangi) karena dia menyeberang dari suatu hal ke hal yang lain; dia menyeberang dari hal yang dipikirkannya menuju ke pengetahuan ketiga. Yang disebut dengan pengetahuan ketiga ini adalah tujuan dalam i'tibar itu. Oleh karenanya, hal itu pun disebut sebagai ‘ibrah. Kata Ibrah mengikuti wazan isim haal seperti kata jalsah, rikbah dan qitlah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan telah menjadi haal (karakter) bagi pemiliknya. Dengan begitu, seseorang bisa melintas atau menyeberang menuju sesuatu yang diinginkannya. Allah SWT berfirman,

      "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut      (kepada Tuhannya)/' (an-Naazi'aat: 26)

      "Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang- orang yang mempunyai penglihatan." (an-Nuur: 44)

      Disebut tadabbur karena merupakan perenungan tentang akibat dan akhir suatu perkara. Allah SWT berfirman,

      "Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami)?" (al-Mukminuun: 68)

      "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an? Kalau Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya."(an-Nisaav: 82)

      Jadi, arti mentadaburi suatu kalimat adalah memikirkannya dari bagian awal sampai akhir, kemudian mengulang-ulangi perenungannya. Oleh karena itu, bentuknya mengikuti wazan tafaa'ul, seperti tajarru', tafahhum, dan tabayyun.
      Dan disebut istibshar, wazan istif'al dari kata tabasshur yang berarti jelas dan tersingkapnya sesuatu hal di depan bashirah (mata hati). 
     Baik tadzakknr maupun tafakkur punya faedah masing-masing. Tadzakkur  berarti hati mengulang-ulang apa yang diketahuinya agar tertanam dengan kuat di dalamnya, sehingga tidak terhapus dan pudar dari dalam hati secara keseluruhan. Adapun tafakur berarti memperbanyak ilmu dan mencari apa yang belum ada di hati. Jadi tafaknr itu gunanya mencari ilmu dan tadzakkur berguna untuk menjaganya. Oleh karena itu, Hasan al-Bashri berkata, "Para ulama senantiasa memanfaatkan tafakkur dan tadzakkur. Mereka berbicara dengan hati sampai akhirnya hati itu melahirkan hikmah."
     Jadi, tafakkur dan tadzakkur adalah benih ilmu. Saling bertanya adalah siramannya,dan mudzakarah adalah pembuahannya. Seorang salaf pernah menyatakan, "Pertemuan antar para ulama adalah pembuahan otak mereka." Karena, dalam mudzakarah terdapat pembuahan akal.
     Kebaikan dan kebahagiaan itu tersimpan di dalam sebuah gudang, kuncinya adalah tafakkur. Jadi harus ada tafakkur dan ilmu. Apabila dari proses itu kemudian hati memperoleh ilmu, maka setiap orang yang melakukan suatu hal yang baik atau buruk pasti ada satu kondisi di hatinya yang terwarnai oleh ilmunya. Kondisi itu melahirkan iradah (kehendak), dan iradah melahirkan amal. Sampai di sini ada lima hal: (1) berpikir, (2) buahnya, yaitu ilmu, (3) buah dari keduanya, yaitu keadaan yang terwujud bagi hati, (4) buah yang ditimbulkannya, yaitu iradah, dan (5) buah iradah, yaitu amal. Dengan demikian, ilmu adalah titik permulaan dan kunci segala kebaikan.
     Hal ini tentu membuktikan keutamaan dan kemuliaan tafakkur. Hal itu juga membuktikan bahwa tafakkur tergolong amal hati yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hati itu sendiri; sampai dikatakan, "Tafakkur sesaat lebih baik dari ibadah setahun." Hanya berpikir yang dapat mengubah seseorang dari matinya kecerdasan kepada hidupnya kesadaran, dari kebencian kepada cinta, dari rakus dan tamak menjadi zuhud dan qana'ah, dari penjara dunia ke cakrawala akhirat, dari sempitnya kebodohan ke lapangnya ilmu, dari penyakit syahwat dan cinta kehidupan fana ini ke sehatnya taobat kepada Allah dan mengesampingkan dunia, dari musibah buta, tuli, dan bisu ke nikmat melihat, mendengar, dan paham tentang Allah. Juga dari penyakit-penyakit syubhat (keraguan) ke sejuknya keyakinan dan tenteramnya dada.
     Kesimpulannya: pangkal setiap ibadah dan taat adalah pikiran. Begitu juga, pangkal setiap maksiat berasal dari pikiran juga. Itu karena, ketika setan mendapati sebuah hati kosong dan terbengkalai maka ia menanamkan benih pikiran-pikiran jahat. Lahirlah kemudian kehendak dan keinginan, lalu dari sana timbullah perbuatan. Tapi kalau setan mendapati hati terisi oleh benih-benih pikiran yang bermanfaat positif, yang berisi tentang tujuan penciptaan atau tentang tugas yang dibebankan kepadanya atau tentang kenikmatan dan siksa yang disediakan buatnya, tentu setan tidak akan dapat menemukan tempat untuk menanam benih keburukan. Ini seperti dikatakan bait syair berikut.

      "Cintanya mendatangiku sebelum aku tahu apa itu cinta
      Maka ia menemukan hati yang kosong sehingga ia pun singgah di sana."

     Jika ada yang menyatakan kalau anda telah menyebutkan definisi pikiran, manfaatnya, dan betapa besar pengaruhnya dalam kebaikan dan keburukan, sekarang apa yang menjadi bahan pikiran itu? Membahas masalah seperti ini tidak akan lengkap tanpa menyebutkan hal yang menjadi bahan pikiran itu sendiri. Sebab, berpikir tanpa ada sesuatu yang dipikirkan adalah mustahil.
     Jawabnya, bahan pikiran dan hal-hal yang terkait dengannya ada empat. Pertama: tujuan yang disukai dan ingin diwujudkan. Kedua: jalan yang mengantarkan kepada tujuan tersebut. Ketiga: mudarat yang dibenci dan tidak diharapkan terjadi. Keempat: jalan yang menyebabkan timbulnya mudarat tersebut.
     Pemikiran manusia berakal tidak keluar dari "empat hal ini. Setiap pikiran
yang melampaui keempat hal tersebut adalah pikiran yang rendah, khayal, dan angan-angan yang sesat; seperti orang miskin yang berkhayal dia adalah orang terkaya lalu mengambil dan memberi sebebasnya. Atau seperti orang lemah yang berkhayal bahwa dia adalah raja yang paling berkuasa, membayangkan dia dapat berlaku dan bertindak bebas di negeri dan terhadap rakyat; dan sebagainya yang tergolong pikiran-pikiran hampa yang mirip igauan orang mabuk atau miring otaknya. Pikiran-pikiran rendah itu adalah santapan orang-orang yang berjiwa amat hina. Jiwa-jiwa itu menerima khayalan dan rela dengan sesuatu yang mustahil. Kemudian, pikiran-pikiran ini makin kuat dari bertambah banyak sampai mengakibatkan timbulnya efek yang tidak baik, was-was dalam hati, dan penyakit-penyakit yang sulit dihilangkan.
     Selain pikiran yang bermanfaat itu adalah pikiran yang keluar dari empat bagian yang telah kami sebutkan. Pikiran seperti itu juga punya dua tempat dan tingkatan, yaitu dunia dan akhirat. Budak-budak dunia yang tidak peduli dengan akhirat mengisi pikiran-pikiran mereka dengan empat hal itu di dunia ini, sehingga membuahkan pikiran-pikiran duniawi saja. Apabila dunia habis masanya dan hari akhirat tiba, maka akan nyatalah siapa yang beruntung dan siapa yang merugi. Sedangkan orang-orang yang mementingkan akhirat, mereka meramaikan bangunan pikirnya dengan empat bagian itu tentang akhirat.
     Dengan bantuan-Nya, kami akan membahasnya secara detail sebagai berikut. Setiap orang yang menginginkan sesuatu pasti karena ia menyukainya, senang berdekatan dengannya, dan berusaha mewujudkan hal itu dengan sungguh-sungguh. Ini menyebabkan pikirannya terikat dengan keindahan, kesempurnaan, dan melebih-lebihkan sesuatu yang dicintainya. Perasaan seperti ini juga membuat pikiran seseorang terikat oleh keuntungan dan kegembiraan yang didapat dari yang dicintainya itu. Jadi, pikirannya tentang sang kekasih berkisar antara keindahan dan kebagusan. Makin kuat cintanya, makin kuat pula pikirannya—sampai memenuhi seluruh bagian hati, sehingga tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk yang lain.
     Di tengah manusia, ia selalu bersama kekasihnya dengan seluruh jiwa raganya. Kalau kekasih ini adalah kekasih yang haq, yang cinta kasih sejati hanya pantas dicurahkan kepadanya, maka dia adalah orang yang paling berbahagia. Dia telah meletakkan cinta pada tempatnya. Tapi jika cinta itu untuk hal-hal lain yang batil dan fana, yang setelah sang terkasih lenyap membuat hati merana, berarti ia tidak meletakkan cinta pada tempatnya, dia amat menzalimi dirinya. Dengan begitu, dirinya harus siap menerima kesengsaraan dan kecelakaan.
     Dari sini dapat dipahami bahwa cinta kepada selain Tuhan Yang Haq adalah kesengsaraan dan kerugian seorang hamba. Pikiran-pikirannya semuanya batil, dan mendatangkan mudarat dalam kehidupan dan sepeninggalnya.
     Orang yang jatuh cinta, yang pikirannya telah dikuasai oleh sesuatu yang ia cintai, pikirannya tidak lepas dari keterikatan kepada yang dicintainya itu atau kepada dirinya sendiri. Dan, pikirannya tentang yang dicintai itu tidak lepas dari dua hal. Pertama: pikiran tentang keindahan dan kelebihan sifat-sifatnya. Kedua: pikiran tentang perbuatan, kebaikan perilaku, dan kelembutan yang menunjukkan kesempurnaan sifatnya.
     Adapun pikirannya tentang diri sendiri juga tidak keluar dari dua hal. Pertama: ia berpikir tentang sifat-sifat buruknya yang dibenci oleh yang tercinta dan menjatuhkan diri sendiri di mata sang kekasih. Akhirnya, ia selalu hati-hati dan menjauhi sifat-sifat tersebut. Kedua: ia memikirkan sifat-sifat, akhlak, dan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan dirinya kepada sang kekasih dan yang bisa menambah perasaan cinta kepadanya. Maka pada akhirnya, dia akan berusaha untuk memiliki sifat-sifat tersebut.
      Dua pikiran pertama menyebabkan cinta seseorang bertambah kuat. Sedangkan, dua pikiran terakhir menyebabkan yang ia cintai semakin menaruh hati dan mendekatkan diri kepadanya. Cinta yang sempurna menuntut terpenuhinya keempat pikiran ini. Pikiran pertama dan kedua berkaitan dengan ilmu tauhid, tentang sifat- sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan yang berhak disembah. Adapun pikiran ketiga dan keempat berkaitan dengan jalan yang bisa mengantarkannya ke sana, serta halangan dan gangguannya.
     Jadi, seseorang yang memikirkan sifat-sifat pribadinya membuat ia dapat
membedakan mana sifat yang dicintai Tuhannya, dan mana yang dibenci. Pikiran seperti ini mengandung tiga hal. Pertama: apakah sifat ini dibenci Allah SWT atau tidak. Kedua: apakah dia memiliki sifat itu atau tidak. Ketiga: jika dia punya, bagaimana cara membuangnya. Tapi jika tidak punya, bagaimana cara melindungi diri agar tidak sampai mempunyai sifat semacam itu.
      Begitu pula pikiran tentang sifat baik yang dicintai juga mengandung tiga unsur. Pertama: apakah sifat ini dicintai dan diridhai Allah SWT atau tidak. Kedua: apakah dia memiliki sifat itu atau tidak. Ketiga: jika memilikinya, bagaimana cara menjaganya; dan jika tidak, bagaimana supaya memilikinya. Pikiran seseorang semua sama ketika melihat berbagai perbuatan sesuai dengan dua aspek ini.
      Adapun sasaran atau hal-hal yang menjadi bahan pikiran ini amat banyak, hampir  tak ada standar yang pasti. Namun semuanya tidak keluar dari enam jenis: ibadah- ibadah zahir dan batin, maksiat-maksiat zahir dan batin, sifat-sifat dan akhlak terpuji  dan tercela. Inilah berbagai arah pikiran tentang diri dan perbuatan seorang hamba.
      Adapun pikiran tentang zat yang disembah, tentang perbuatan-perbuatan dan  hukum-hukum-Nya, harus dibedakan antara iman dan kufur, tauhid dan syirik. Cara  berpikir seperti ini adalah dengan mentadaburi kalam-Nya, merenungkan nama- nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan yang dijelaskan oleh-Nya melalui lisan  para rasul, merenungkan pertolongan-Nya kepada para wali dan hukuman-Nya kepada musuh-musuh-Nya—seperti yang dikisahkan dan ditunjukkan-Nya kepada para hamba. Hal ini agar terbukti di mata mereka bahwa Dia adalah Tuhan Yang Benar, yang tidak ada yang patut disembah selain Dia. Juga agar dengan itu semua mereka mengerti bahwa Dia Maha Tahu akan segala hal, siksa-Nya amat pedih; bahwa Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Maha Mulia dan Bijaksana, rahmat-Nya meliputi segala sesuatu; dan bahwa perbuatan-perbuatan-Nya berkisar antara hikmah dan rahmah, antara keadilan dan maslahat. Tidak ada satu pun yang keluar dari hal itu. Buah ini tidak mungkin dihasilkan tanpa (1) mentadaburi kalam-Nya, dan (2) memikirkan atsar (pengaruh) dari perbuatan-perbuatan-Nya. Di dalam Al-Qur'an, Dia menyeru hamba-hamba-Nya untuk merenungkan dua asas ini. Tentang asas pertama, Dia berfirman,

      "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an?" (an-Nisaa": 82)     "Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami)?" (al-Mukminuun:68)

     "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya." (Shaad: 29)

     "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya." (Yusuf: 2)

     "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (Fushshilat: 3)

     Sedang tentang asas kedua, Dia berfirman,
      "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.'" (Yunus: 101)

     "Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang- orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi." (Ali Imran: 190-191)

     "Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang serta hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air   hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda- tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal." (al-Jaatsiyah: 3-5)

      "Dan   apakah    mereka   tidak  mengadakan     perjalanan   di    muka   bumi dan      memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum  mereka." (ar-Ruum: 9)

     "Katakanlah, 'Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikan bagaimana  kesudahan orang-orang yang dahulu.'" (ar-Ruum: 42)

     "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dan tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi serta berlain-lainan    bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar  terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda   kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan suing hari serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya padd yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan      dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar  terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. Dan di antara  tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya.     Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga)   kamu keluar (dari kubur)." (ar-Ruum: 20-25)

     Allah SWT membuat "ayat-ayat" atau tanda-tanda dalam surah-surah di atas secara bervariasi. Dia menjadikan penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa bangsa-bangsa dan warna kulit mereka sebagai ayat atau bukti bagi orang-orang yang mengetahui. Karena mereka semua sama-sama mengetahuinya dan karena ayat-ayat itu tampak dengan jelas.
     Dia menjadikan penciptaan istri, yang menjadi tempat kaum pria menemukan ketenangan, dan penciptaan rasa cinta kasih antara mereka sebagai ayat-ayat bagi kaum yang berpikir. Karena ketenteraman lelaki bersama istrinya serta kehangatan kasih sayang antara mereka adalah perkara batin yang disaksikan dengan mata bashirah dan pikiran. Bila dengan mata bashirah ini seseorang menilik hikmah, rahmat, dan kuasa yang menyebabkan terjadinya hal itu, tentu pikirannya akan sadar bahwa Dia adalah Tuhan Yang Haq yang ketuhanannya (Rububiyah, Uluhiyah, Hikmah
dan Rahmat-Nya) diakui oleh fitrah manusia.
     Allah menjadikan istirahat/tidur pada malam hari dan mencari karunia-Nya di waktu siang sebagai tanda-tanda bagi kaum yang mendengar. 'Mendengar' di sini adalah mendengarkan dengan paham sambil mentadaburi keterkaitan tanda-tanda ini dengan kebenaran ajaran rasul mengenai kehidupan manusia setelah mati dan kebangkitan. Kedua hal ini sama saja dengan ketika Tuhan membangkitkan manusia setelah 'mati' (tidur) lalu la membangunkan manusia untuk mengurus kehidupan mereka dengan mencari rezeki. Yang dapat mengambil faedah dan manfaat dari tanda ini hanyalah orang yang mendengarkan ajaran para rasul dan menjadikan ayat ini sebagai dalil serta bukti kebenarannya.
     Dia menjadikan penampakan kilat, penurunan air dari langit, dan penghidupan bumi dengan air itu sebagai tanda-tanda bagi kaum yang berakal; karena hal-hal tersebut terlihat dengan mata kepala dan terjangkau oleh indera. Maka, apabila dia memandangnya dengan bashirah hatinya, yaitu akal, ia dapat membuktikan kebenaran adanya Tuhan, kekuasaan, ilmu, rahmat, dan hikmah-Nya. Juga membuktikan bahwa apa yang diberitakan-Nya, seperti kehidupan makhluk setelah mati sebagaimana Dia menghidupkan bumi ini setelah sebelumnya mati/gersang adalah mungkin dan tidak mustahil. Hal-hal ini tidak bisa dimengerti kecuali dengan mata hati, yaitu akal. karena indera hanya menjangkau buktinya. Sedang akallah yang menjangkau hakikat seperti digambarkan dengan tanda itu. Jadi, Allah SWT menyebutkan tanda yang terlihat dengan mata dan hakikat yang ditunjukkan oleh akal, dengan firman-Nya,      

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang semikian   itu  benar-benar   terdapat    tanda-tanda    bagi kaum    yang mempergunakan akalnya." (ar-Ruum:24)

     Maha Suci Allah yang telah menjadikan kalam-Nya sebagai sumber kehidupan hati dan obat dada yang sakit.
     Intinya: tidak ada yang lebih berguna bagi hati melebihi membaca Al-Qur'an dengan tadabur. Membaca dengan tadabur adalah inti semua manzilah dan maqam orang-orang arif. Itulah yang menimbulkan cinta, kerinduan, takut (khauf), harapan {raja1), tobat, tawakal, ridha, syukur, sabar, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan hidupnya hati. Membaca dengan tadabur ini juga menjauhkan seseorang dari semua sifat dan perbuatan tercela yang merusak hati. Kalau manusia tahu faedah membaca Al-Qur'an dengan tadabur, tentu mereka memanfaatkannya dan mengesampingkan yang lain. Apabila ia membacanya dengan tafakur lalu melewati ayat yang kebetulan dia butuhkan untuk kesembuhan hatinya, ia mengulang-ulanginya meski sampai seratus kali, atau meski sepanjang malam. Membaca satu ayat dengan tafakur dan tadabur lebih baik daripada mengkhatamkan Al-Qur'an tanpa tadabur. Hal itu lebih bermanfaat bagi hati, lebih mendatangkan iman dan menciptakan manisnya Al-Qur'an. Demikianlah kebiasaan para salaf. Mereka mengulang-ulang bacaan satu ayat sampai pagi. Nabi juga (pernah) shalat tahajud dengan membaca satu ayat yang beliau ulang- ulang sampai pagi, yaitu firman Allah SWT,

      "Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang  Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (al-Maa idah: 118)

      Membaca Al-Qur'an dengan tadabur adalah pangkal kebersihan hati. Oleh karena itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Janganlah membaca Al-Qur'an seperti puisi! Berhentilah di setiap keajaiban-keajaibannya! Gerakkanlah hati dengannya! Janganlah kalian berkeinginan cepat sampai pada akhir surah!"
      Abu Ayyub meriwayatkan bahwa Abu Jamrah memberitahu Ibnu Abbas, "Aku membaca Al-Qurv an dengan cepat. Aku dapat mengkhatamkannya dalam tiga hari."
Ibnu Abbas menimpali, 'Aku lebih senang membaca satu surah saja dengan tadabur dan tartil; daripada membaca Al-Qurv an seperti cara kamu membacanya."
      Tafakur dalam membaca Al-Qur'an itu ada dua macam: tafakur untuk memahami maksud Tuhan dari kalam itu sendiri dan tafakur (merenungkan) hakikat-hakikat yang disuruh-Nya untuk direnungkan. Yang pertama adalah tafakur tentang dalil Qur'ani, dan yang kedua adalah tafakur tentang dalil 'aj«a«z(wujud/hakekat). Yang pertama adalah tafakur tentang ayat-ayat yang terdengar, dan yang kedua adalah tafakur tentang ayat-ayat yang terlihat.
      Jadi, Allah SWT menurunkan Al-Qur'an untuk direnungkan dan diamalkan.
Bukan untuk dibaca belaka lalu ajarannya dikesampingkan. Hasan al-Bashri berkata, "Al-Qur'an diturunkan untuk diamalkan. Maka, jadikanlah membacanya sebagai sebuah amal."

rujukan :
1. Miftakh Darus Sa'adah, "Kunci Kebahagiaan", Imam Ibnul Qoyyim Al-Jautziyah